![]() |
foto mengaji siswa-siswi SMK Muhammadiyah Banjarsari (ciamismu.cm) |
Surat al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan bahwa Allah SWT akan
menciptakan pemimpin di muka bumi. Pemimpin yang dimaksud adalah makhluk
bernama manusia yang diamanahkan Tuhan dengan berbekal akal dan wahyu, dan
bertugas untuk menyebarkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi. Berbuat
keadilan, menebarkan kasih sayang kepada sesama makhluk, serta menjaga
kelestarian dan keteraturan bumi ini.
Namun manusia tetaplah makhluk yang disebut sebagai Insan, yakni
tempatnya salah dan lupa, sehingga terkadang manusia yang diciptakan menjadi
khalifah justru abai dan lupa, bahkan pengetahuannya belum mencukupi, sehingga
terkadang kurang benar dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah.
Fenomena beragama masyarakat terutama yang beragama Islam
akhir-akhir ini lebih banyak mengutamakan simbol dan sering mengabaikan esensi.
berIslam yang mereka maksud hanya dibatasi dengan pakaian dan pernik-pernik
lain yang itu dianggap sebagai esensi dari agama. berIslam hanya mengutamakan
pemeliharaan jenggot, bercelana cingkrang dan pemakaian peci serta menggunakan
pakaian ala-ala bangsa Arab. Hal demikian sudah dianggap sebagai hal yang
paling Islami dan paling menjalankan sunnah.
Lebih jauh lagi, mereka mempelajari fiqih hanya 1 mazhab dan sering
sangat tekstual. Sehingga orang lain yang berbeda dianggap salah dan hanya
kelompoknya yang paling benar. Padahal semua ulama bahkan para sahabat adalah
manusia biasa yang tetap memiliki kemungkinan untuk salah, maka seharusnya
tidak perlu terlalu fanatik dan tak perlu menyalahkan orang lain yang berbeda.
Fenomena yang demikian akan melangkah maju pada tahapan yang lebih
jauh dan mengerikan, yaitu saling menyesatkan bahkan menghalalkan darah saudara
seimannya. Padahal kita tahu, satu-satunya manusia yang diperbolehkan membunuh
hanyalah nabi Khidir ketika menguji kesabaran Musa untuk menjadi muridnya.
Feomena yang selanjutnya, dalam
beragama, umat Islam lebih cenderung beribadah hanya tataran ibadah mahdhah,
atau menjaga hubungan baik dengan Allah, namun lupa akan hubungan dengan
manusia (hablun minannas). Umat Islam pada saat ini lebih mencermati
surat al-Jum’ah ayat 9, tapi mengabaikan ayat 10.
Dalam surat al-Jum’ah ayat 9,
orang-orang yang beriman diperintahkan untuk melaksanakan ibadah mahdhah yakni solat
jum’at dan di ayat 10 diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi setlah
menyelesaikan solat jum’at. Tentu saja selain mencari anugrah dari Allah,
orang-orang beriman diperintahkan untuk memperbanyak berdzikir dan berdakwah
dalam bertebaran di muka bumi, serta menjalankan tugasnya menjadi khalifah
fil ard, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Dalam surat Ibrahim ayat 24-25,
seorang muslim seharusnya ibarat sebuah pohon keimanan. Pohon yang senantiasa
memberikan manfaat yang banyak, buahnya dapat dikonsumsi oleh setiap makhluk
yang menginginkannya, dahannya dapat menjadi sarang serta tempat bertengger
burung-burung, daunnya yang lebat menjadi tempat berteduh musafir yang lewat,
dan akarnya yang kokoh dapat menyimpan persediaan air untuk bumi ketika tandus.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa selain beribadah kepada Allah, seorang muslim juga harus memberikan
manfaat bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam fiqih juga bila disadari ada
beberapa aspek yang menunjukan bahwa Islam sangat peduli dengan sosial; bila
seorang muslim tidak mampu melaksanankan puasa maka gantinya adalah memberikan
makan pada orang lain, pun juga bila kita sedang dalam urusan tertentu seperti
halnya safar, solat kita boleh diperpendek (qashar) dan ketika dalam ibadah
haji melanggar kewajiban haji maka diharuskan untuk membayarnya dengan
penyembelihan kambing.
Dalam beragama, Kuntowijoyo
memberikan sebuah gagasan berupa paradigma profetik. Gagasan profetik tersebut
berpijak dari surat Ali Imran ayat 104, yakni prasyarat ummat terbaik:
humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhauna ‘anil munkar), dan
transendensi (tu’minu billah).
Menurut Kuntowijoyo, menyeru kepada
kebaikan (amar ma’ruf) tidak hanya dalam konteks individual melainkan harus ditransformasikan
dalam konteks sosial budaya. Amar ma’ruf merupakan emansipasi manusia kepada
fitrahnya yakni pada posisinya sebagai makhluk yang mulia.
Kuntowijoyo menyebutnya dengan
istilah humanisasi teosentris, yaitu kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai
makhluk Allah yang diberi tanggungjawab untuk mengelola bumi. Humanisasi
berarti menebarkan kebaikan yang berpijak pada keadilan. Misi dari humanisasi
adalah menempatkan manusia sebagai khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi)
yang senantiasa menjalankan misi keadilan.
Kedua yakni liberasi (nahyi munkar
atau mencegah kemungkaran). Secara sosial, nahyi munkar adalah pembebasan
manusia dari penindasan manusia yang lain yang memiliki kekuatan yang lebih, baik
dalam aspek ekonomi maupun aspek fisik, dan pembebasan dari segala bentuk
kegelapan (zhulumat): kemiskinan, kebodohan keterbelakangan dan sebagainya.
Spirit pembebasan tersebut lebih
banyak merupakan sebuah kritik atas keadaan sosial yang terjadi di Indonesia.
Tulisan-tulisannya banyak yang merupakan kritik atas realitas sosial yang
terjadi, seperti sejarah sosial Indonesia yang diwarnai dengan praktik-praktik
eksploitasi kapital.
Poteret penindasan yang Kuntowijoyo
soroti adalah bentuk oligarki antara pemodal besar dengan negara. Oligarki ini
menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pemodal besar yang
menjadikan para pemodal besar dapat sangat mudah menjalankan roda ekonominya.
Namun hal tersebut menyebabkan akses rakyat atas ekonomi menjadi terhambat, alhasil
rakyat menjadi miskin dan tertindas. Mereka yang tertindas dengan kondisi ini
Kuntowijoyo sebut sebagai dhuafa dan mustadh’afin; orang yang tertindas oleh
sistem.
Adapaun yang ketiga yakni
transendensi (tu’minu billah). Transendensi diartikan sebagai pengembalian
segala sesuatu pada hakikat yang paling mendasar yaitu Allah SWT. Namun gagasan
tauhid ini tidak hanya pada level teologis, melainkan harus juga diterjemahkan
melalui langkah-langkah sosial yang konkrit.
Tauhid sosial mengejawantahkan
tauhid dalam semua dimensi kehidupan. Menurut Amin Rais, tauhid sosial
merupakan dimensi sosial dari konsep pengesaan Allah secara mutlak sehingga
pemahaman yang dimiliki adalah semua manuisa sama derajatnya, maka tidak
dibolehkan manusia menindas manusia yang lain, dan keadilan diantara manusia
harus ditegakkan
Implikasi yang diharapkan dari
tauhid sosial adalah terbentuknya manusia tauhid yang mampu berfikir dan
bertindak secara tauhid dan syari’ah, sehingga tercipta ketraturan dan
keadilan. Tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial.
Etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan
individu, melainkan juga dalam ruag publik.
Penulis:
Adi Irfan Marjuqi, aktivis PCPM Banjarsari dan Dosen STIKes Muhammadiyah Ciamis.
0 komentar:
Posting Komentar