Suatu hari, Luqman berjalan-jalan bersama anaknya. Ia naik keledai,
sementara anaknya berjalan kaki menuntun. Saat melewati sekumpulan orang,
mereka berbisik, “Lihatlah orangtua itu, tak punya belas kasihan. Anaknya
dibiarkan jalan kaki.”
Mendengar itu, Luqman merasa tak enak hati. Ia segera meminta anaknya naik
keledai, dan ia sendiri yang menuntun. Tapi tak lama kemudian, sekelompok orang
lain berkomentar, “Dasar anak tidak tahu diri! Ayahnya yang tua disuruh jalan
kaki, sementara ia enak-enakan di atas keledai.”
Bingung, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki sambil
menuntun keledai. Rupanya, itu pun salah. Orang-orang yang melihat malah
menertawakan mereka, “Bodoh sekali mereka! Punya keledai kok tidak dinaiki?”
Karena lelah dengan omongan orang, mereka akhirnya naik keledai berdua.
Alih-alih dipuji, mereka justru dikritik lagi. “Tidak punya perasaan! Keledai
kecil gitu ditunggangi dua orang!”
Pada akhirnya, mereka mencoba cara paling aneh: memikul keledai itu. Tentu
saja, orang-orang tertawa terbahak-bahak melihatnya, “Ada orang gila memikul
keledai!”
...............................................................
Kisah Luqman dan anaknya ini merupkan kisah yang masyhur. Hanya saja kami ingin
memberikan konteks dalam kehidupan kita yang berada di era digital. Dimana
mulut netizen dan standar kebenaran menjadi kabur.
Hari ini media sosial dengan berbagai macam platformnya sudah menjadi
bagian dari hidup kita. Hal yang harus diperhatikan adalah semua orang dengan
bebas bisa bernarasi dan berkomentar disana.
Sehingga bila kita jadikan komentar netizen atau tren yang ada di media
sosial sebagai standar kebenaran. Maka rugilah kita. Sebab apa yanng berkembang
di media sosial itu sumbernya bermacam-macam. Sehingga bisa saja bertentangan
dengan nilai-nilai kebenaran Islam.
Ingatlah firman Allah bahwa standar kebenaran itu dari-Nya atau dengan kata
lain Islam itu sendiri. Yaitu sumbernya Al-Quran dan Hadis.
ٱلْحَقُّ مِن
رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Al-Baqarah: 147).
Kemudahan mengakses informasi melalui media sosial adalah anugerah zaman
ini. Namun jangan sampai menjadi bencana karena kita tidakmemiliki filternya.
Maka jadikanlah Al-Quran dan Hadis sebagai sumber pokok dan standar
kebenaranya. Dengarkan dan pahamilah penjelasan para ulama tentang keduanya
(Al-Quran dan Hadis). Biar tidak gagal paham maksud keduanya.
Bila kita sudah berusaha menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai rujukan dan satandar
kebenaran. Insya Allah tidak akan sesat selamanya.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ
وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits
Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Oleh: Waskito Hartono, S.Th.i (Founder Qawwamuna.com)
0 komentar:
Posting Komentar